TANJUNG REDEB – Munculnya batik printing dalam berbagai pola dan harga yang menggiurkan kini menjadi tantangan serius bagi para pengrajin batik lokal di Bumi Batiwakkal. 

Pemerintah pusat telah mengimbau agar masyarakat lebih memprioritaskan batik cap dan tulis, namun keberpihakan nyata di tingkat daerah dinilai masih belum sepenuhnya tampak.

Di Berau, kekhawatiran itu disambut oleh Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan. Salah satu langkah yang tengah disiapkan adalah aturan penggunaan batik khas Berau sebagai seragam di lingkungan ASN, sekolah, hingga lembaga pendidikan.

Eva Yunita selaku Kepala Diskoperindag Berau menggarisbawahi pentingnya memilih batik hasil buatan tangan pengrajin ketimbang batik printing. Ia menyebut bahwa penggunaan batik lokal bukan hanya soal estetika, tetapi juga dukungan langsung terhadap pelaku industri kecil menengah.

“Kalau bisa jangan pakai batik printing,” ujar Eva singkat.

Batik printing, yang diproduksi dalam jumlah besar secara mesin, dianggap mengikis pasar pengrajin yang selama ini bertahan dengan cara-cara tradisional. Di sisi lain, Berau memiliki potensi kuat dengan motif khas daerah yang sudah diproduksi baik dengan teknik cap maupun tulis.

Reni Yanita, Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka Kementerian Perindustrian, sempat menyinggung potensi batik Berau saat meresmikan rumah tenun Sukan. Menurutnya, batik Berau yang dikerjakan secara tradisional maupun semi modern layak diberi panggung lebih luas.

“Berau sudah punya batik motif khas yang pembuatannya juga tergolong unik,” ucap Reni.

Proses pengerjaan batik cap maupun tulis memang memerlukan waktu, tenaga, dan ketekunan. Namun hasilnya tak hanya unik, tetapi juga menjadi simbol identitas daerah yang tak tergantikan oleh produk massal. Dalam satu kain, ada nilai kerja dan karakter yang tak bisa disamakan.

Eva juga menekankan bahwa batik cap dan tulis cocok dijadikan oleh-oleh karena model dan coraknya tidak pasaran. Sementara batik printing cenderung seragam dan banyak kembarannya.

“Biasanya modelnya tidak pasaran, dibuat satu persatu. Sedangkan batik printing itu produksinya massal dan banyak kembarannya,” tegasnya.

IKM batik Berau saat ini telah mampu memenuhi permintaan dalam jumlah besar dan kualitasnya tidak kalah saing. Namun semua itu akan sia-sia jika tanpa dukungan kebijakan dan keberpihakan nyata dari pemerintah daerah.

Diskoperindag berharap, pembudayaan batik lokal tidak berhenti pada seremonial dan wacana. Keberpihakan harus tercermin dalam kebijakan, anggaran, dan sikap seluruh institusi yang ingin melihat IKM batik terus bertahan. (Adv/Aya)