TANJUNG REDEB – Penegakan aturan membayar royalti dari pemutaran musik di ruang publik, seperti restoran, kafe hingga hotel, menjadi perbincangan hangat beberapa waktu belakangan ini.

Kendati telah berlangganan lewat akun premium di aplikasi pemutar musik, seperti Spotify dan YouTube, para pelaku usaha harus membayarkan hak para musisi di luar pembayaran aktivasi akun langganan.

Pasalnya, pembayaran melalui platform tersebut tidak termasuk dalam pembayaran hak royalti bagi para musisi.

Aturan pembayaran royalti itu dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Lembaga yang difungsikan untuk memungut pundi dari pelaku usaha, lalu mendistribusikannya kepada pemilik hak dan pencipta musik.

Aturan ini dinilai berat. Sebab, di tengah ketidakstabilan ekonomi, negara justru menghadapkan para pelaku usaha pada realitas pembayaran tambahan yang berpengaruh terhadap operasional usaha seperti kafe.

Pemilik kedai Seduh Kopi, Ryo Pratama, mengatakan, aturan tersebut diterapkan di tengah janji pemerintah untuk menumbuhkan para pelaku usaha mikro kecil dan menengah.

“Katanya pemerintah mau bantu UMKM,” kata Ryo dengan nada menyindir saat ditemui awak media ini pada Jumat (1/8/2025).

Dia tak menyampaikan data rinci kebutuhan bulanan dan tahunan untuk operasional kedai kopinya. Namun, Ryo memastikan kebijakan tersebut akan meningkatkan pengeluaran.

Di satu sisi, menurut dia, berat ketika harus menaikkan nilai jual satu gelas kopi mengingat persaingan harga di Berau sangat kompetitif.

“Meskipun tak semua penikmat kopi ini melihat harga, tapi pasti berasa juga,” tuturnya.

Dia pun tak tahu bagaimana mengungkapkan peran pemerintah saat ini. Sebab, sudah banyak hasil pajak yang ditarik pemerintah, mulai pajak bumi dan bangunan (PBB), tempat usaha, parkir, sampai jenis pajak lainnya yang dibebankan ke pengusaha.

“Enggak kurang-kurang pajak dibayarkan itu, masih mau ditambah lagi,” keluhnya.

Sementara itu, Director Marketing Cafe Ruang Sapta, Indra Nugraha, menyatakan musik dan kopi merupakan satu paket untuk menikmati hari dan bersantai maupun bekerja.

Tanpa musik, menurutnya, suasana cafe akan terasa hampa. Terlebih musik yang kerap diputarkan di cafe tersebut merupakan salah satu metode interaksi dengan para pelanggan yang bisa memesan lagu.

“Karena ngopi tanpa musik itu hampa,” sebutnya.

Ia mengaku masih mempelajari aturan yang populer beberapa pekan belakangan ini. Dirinya hanya berharap, pemerintah dapat memberikan formula aturan yang baku dan lebih fleksibel demi meningkatkan geliat usaha di daerah.

“Ya semoga ada alternatif yang bisa diberikan lah,” harapnya.

Dia menyatakan, pemerintah mesti melek dengan pertumbuhan industri coffee shop beberapa tahun belakangan ini.

Sektor usaha tersebut menjadi bagian yang menumbuhkan geliat ekonomi daerah hingga nasional.

Di daerah pun dia sebut tren coffee shop sudah sangat baik. Semua pelaku usaha bersaing dengan sehat untuk menyajikan racikan kopi terbaik kepada pelanggan.

“Harusnya ini yang diberikan dukungan secara penuh, bukan justru sebaliknya,” tutur dia.

Mengutip kompas.com, LMKN memberikan solusi bagi pelaku usaha untuk bisa memutar musik bebas lisensi alias royalty free.

LMKN menerapkan aturan royalti dengan mempertimbangkan nilai usaha tersebut, mulai dari tempat usaha hingga tingkat pengunjung harian.

Sebagai informasi, pengenaan royalti terhadap musik yang dimainkan di ruang publik, seperti rumah makan, mencuat setelah gerai Mie Gacoan di Bali diduga melakukan pelanggaran hak cipta.

Direktur PT Mitra Bali Sukses, pemegang lisensi waralaba Mie Gacoan, I Gusti Ayu Sasih Ira, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta.

Pihaknya diduga memutar musik di gerai Mie Gacoan tanpa izin dari pemilik hak cipta dan tidak membayar royalti sejak 2022.

Dalam kasus ini, Mie Gacoan dianggap melanggar hak ekonomi pencipta, khususnya dalam bentuk performing rights, yaitu hak untuk mempertunjukkan atau memperdengarkan karya secara publik, termasuk di restoran, kafe, hotel, pusat perbelanjaan, dan tempat umum lainnya. (*)