LABANAN – Cuaca panas ekstrem yang melanda Kabupaten Berau dalam beberapa hari belakangan ini berpotensi memunculkan bahaya kebakaran hutan dan lahan.

Jika bencana tersebut terjadi, maka akan menjadi mimpi buruk bagi warga Bumi Batiwakkal, mulai dari petani, pekebun, hingga perusahaan ketika hutan terbakar.

Kondisi yang buruk itu juga dapat menjadi penyumbang rusaknya kualitas udara, bahkan bisa mengancam penerbangan.

Situasi itu direspons cepat Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Berau Barat yang beberapa waktu lalu menggelar sosialisasi ke para aparat kampung, kecamatan, NGO, mahasiswa, dan termasuk aparat TNI/Polri serta BPBD Berau.

Sosialisasi yang digelar di balai pertemuan Kampung Labanan Makmur itu banyak membahas pencegahan dan penanganan karhutla saat memasuki musim kemarau.

“Ini program yang jadi komitmen kami dalam melindungi hutan produktif di Berau,” kata Kasi PKSDA dan Pemberdayaan Masyarakat KPHP Berau Barat, Edhuwin, Minggu (27/7/2025).

Dia menjelaskan, panas ekstrem yang menyentuh suhu 36 derajat saat ini dapat membuat daun, ranting, hingga batang pohon dan tanaman lainnya menjadi kering.

Pada tahun lalu, rata-rata cuaca panas di Berau mencapai 34-35 derajat celcius atau lebih rendah 1 derajat dibandingkan cuaca panas tahun ini.

Kondisi tersebut akan membuat tanaman menjadi sangat sensitif dengan sentuhan api. Dari puntung rokok saja dapat membuat daun mudah terbakar dan menjadi api besar ketika tak ditangani dengan baik.

“Daun kering kena api, bahaya sekali itu,” ucapnya.

Dia menyebut, pihaknya sengaja mengundang para pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) bersama dengan komunitas Masyarakat Peduli Api (MPA) untuk membangun koordinasi aktif dalam pencegahan karhutla.

Edhu mengingatkan, semua pihak harus paham dengan aturan pengelolaan hutan.

Dia menuturkan, Pasal 256 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, menyebutkan peran para pihak tersebut dalam pencegahan karhutla.

Lalu, dalam pasal 260, secara khusus mengatur mengenai sanksi administratif yang dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan dalam PP tersebut.

Sanksi administratif ini dapat berupa teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara kegiatan, pembekuan izin, hingga pencabutan izin.

“Peraturan itu menegaskan soal pentingnya tindakan pencegahan,” terang dia.

Dia juga menegaskan, sosialisasi tersebut bukan sekedar pertukaran informasi. Namun, akan menjadi langkah awal yang konkret terkait dengan komitmen pencegahan karhutla.

“Ini juga ajang memperkuat komitmen kita bersama untuk menjaga hutan dan lahan dari ancaman karhutla,” kata Edhu.

Ia berharap, dengan adanya sosialisasi ini, pemahaman dan kesadaran masyarakat akan bahaya karhutla semakin meningkat, serta mendorong partisipasi aktif dalam upaya pencegahan dan penanggulangan di wilayahnya masing-masing.

“Semoga semua pihak bisa bersinergi ke depan,” harapnya. (*)