TANJUNG REDEB,- Kung Phong (Gunung Besar) di Kampung Long Keluh, Kecamatan Kelay, masih menyimpan misteri tentang Bumi Batiwakkal di masa penjajahan. Gunung itu menjadi saksi bisu keberadaan bangkai burung besi dari negara adidaya yang masih tersisa.
Warga Long Keluh, kini menyebutnya Gunung Pesawat, bukan lagi Gunung Besar. Yang pasti karena keberadaan bangkai pesawat di gunung tersebut.
Masyarakat kampung tak ada yang tahu sejak kapan pesawat tersebut mendarat di atas gunung. Beberapa pendaki kampung memang sudah bolak-balik melihat kondisi pesawat, sayangnya hingga sekarang belum ada informasi konkretnya.
Apalagi, cerita masyarakat kampung sudah simpang siur. Ada yang melebih-lebihkan, ada yang mengurangi.
Rasa penasaran tak akan terobati jika hanya mendengar cerita orang. Harus siap mendaki untuk melihat langsung bangkai pesawat itu.
Ekspedisi pesawat yang telah direncanakan sejak awal 2018 lalu, sudah beberapa kali tertunda. Namun, sejak menerima pesan WhatsApp dari Ansori, salah seorang guru SMP di Long Keluh, rencana ekspedisi akhirnya dimatangkan dalam hitungan tak sampai sepekan.
Ansori mengirim beberapa gambar air terjun yang indah. Dari beberapa gambar itu, terselip gambar bangkai pesawat.
“Ini beberapa foto air terjun sepanjang perjalanan menuju gunung pesawat,” pesan guru olahraga itu.
Ekspedisi awalnya direncanakan pada 6 Agustus 2018. Namun Ansori yang kami minta untuk menemani naik ke gunung pesawat, punya kesibukan saat itu. Sehingga rencana pendakian gunung diundur pada 10 Agustus 2018.
“Start dari kampung harus dari pagi,” ujar bapak dua anak itu kepada Beraupost seperti dikuti Berauterkini.co.id.
Menuju gunung pesawat, perjalanan membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam. Warga kampung maupun guru-guru di SMP Long Keluh, sudah terbiasa pulang pergi (PP) dari kampung ke gunung.
Tapi karena tak ingin terlalu lelah, serta untuk bisa meng-explore air terjun sebelum sampai di lokasi pesawat, akhirnya direncanakan menginap di hutan belantara. Ansori dan warga yang turut mendampingi pun bersedia.
Tim penjelajah yang memulai perjalanan dari kota Tanjung Redeb menuju kampung, memutuskan untuk bermalam di kampung terlebih dahulu. Agar tidak diburu waktu, sembari menghemat tenaga.
Pasalnya, perjalanan menuju Kampung Long Keluh dari ibu kota Kabupaten Berau, Tanjung Redeb, sudah memakan waktu sekitar 2-3 jam perjalanan darat.
Medan jalan yang dilalui juga cukup berbahaya, melalui jalan logging perusahaan, yang sangat licin usai diguyur hujan. Long Keluh sendiri menjadi kampung terdekat kedua di Kecamatan Kelay, setelah Long Duhung. Penduduknya tak banyak, hanya dihuni lebih dari 40 Kepala Keluarga (KK).
Usai menempuh perjalana panjang, tim penjelajah pun tiba di kampung pada malam hari. Tim diterima Ansori di rumah dinasnya yang sederhana. Baru tiba, rapat langsung digelar dengan guru dan warga yang ingin menemani.
Awalnya hanya 6 orang yang ingin ikut ekspedisi ini. Namun, jumlahnya bertambah setelah mahasiswa-mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang sedang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN), tertarik untuk bergabung.
Warga kampung dan guru SMP Long Keluh lainnya juga mau ikut. Akhirnya rapat malam itu menyepakati total 14 orang yang ikut ekspedisi gunung pesawat.
Persediaan bahan makanan dan peralatan mendaki serta kemping sudah siap. Malam itu setelah rapat, Paulus Bilung (51) yang ditunjuk sebagai pemandu ke gunung pesawat, sempat berbagi sedikit kisah tentang temuan bangkai pesawat itu.
Namun karena sudah terlalu larut, tim memutuskan untuk beristirahat.
“Jam 9 (pagi) saja kita mulai perjalanan, setelah sarapan,” ujar Paulus Bilung, yang merupakan salah satu tokoh masyarakat kampung, sembari pamit usai rapat.
Membayangkan pendakian selama 4-5 jam tentu sangat melelahkan. Apalagi gunung di Kalimantan, berbeda kondisinya dengan gunung-gunung yang ada di Pulau Jawa, yang sudah ada rute perjalanannya untuk mendaki.
Sementara di Kalimantan, lebih banyak mencari dan membuka jalan baru untuk ke suatu lokasi.
“Kalau di Jawa itu namanya naik gunung karena sudah ada jalannya. Kalau perjalanan kita nanti, benar-benar namanya mendaki gunung, ada merayap dan berjalan di tebing,” terang Ansori, pada 11 Agustus pagi, sebelum perjalanan.
Pernyataan Ansori, tak membuat semangat tim ekspedisi luntur. Dimulai sekitar pukul 09.00 Wita, tim yang dipandu Paulus Bilung memulai perjalanan dari kaki air terjun yang dijadikan sumber energi Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh), termasuk untuk kebutuhan air bersih di kampung.
Jalur awal memang lebih banyak melalui sungai dengan batu-batuan besar, lama kelamaan semakin menanjak dan masuk ke jalur hutan.
Cobaan pertama tim ekspedisi bukanlah lelah atau beratnya medan, tapi para penghisap darah sepanjang perjalanan di kaki gunung.
Ya, beberapa pacet menempel di kaki hampir seluruh anggota tim. Bahkan ada anggota yang tak merasa, ternyata pacet sudah masuk hingga dalam celana.
Namanya Tomi, guru SMP di Long Keluh. Menurutnya, wajar saja banyak pacet, karena sehari sebelumnya Long Keluh diguyur hujan, sehingga hutan di gunung pesawat cukup lembap.
Cobaan pertama tak berlangsung lama, karena jalur semakin menanjak. Tapi cobaan berikutnya langsung datang, yakni kelelahan dan dehidrasi. Air mineral dengan botol ukuran besar yang banyak dibawa, sebagian besar habis sebelum sampai puncak.
Barang bawaan peserta ekspedisi memang lumayan banyak, disimpan dalam keril atau tas besar yang biasa digunakan untuk pendakian. Beberapa kali tim beristirahat di jalur air terjun, yang terdiri dari beberapa tingkatan itu.
Airnya memang jernih dan sejuk, bahkan bisa langsung diminum.
“Perjalanan kita ini cukup lambat dari biasanya, karena biasanya kami tak banyak membawa barang dan langsung pulang-pergi. Persiapan kami memang apa adanya,” ujar Ansori dalam perjalanan.
Jalurnya benar-benar menantang. Beberapa peserta yang baru pertama kali ke gunung pesawat, harus terperosot beberapa kali. Untungnya bukan di bagian tebing.
Sekitar pukul 13.30 Wita, tim baru tiba di puncak utama tingkatan air terjun yang belum dinamai warga kampung, atau sekitar 4 jam dari titik awal. Tim memutuskan bermalam di puncak air terjun karena dekat dengan air.
Karena di lokasi bangkai pesawat masih cukup jauh, serta jalurnya semakin menanjak, diputuskan barang-barang bawaan nantinya ditinggal di lokasi air terjun.
“Tidak memungkinkan kita bermalam di atas (puncak gunung pesawat), apalagi bawa barang ke sana, pasti semakin berat,” kata Ansori.
Sembari beristirahat sekitar 1 jam, perjalanan dilanjutkan sekitar pukul 14.30 Wita. Waktu tempuh ke puncak gunung pesawat sekitar 1 jam. Benar saja, perjalanan ke puncak lebih berat dengan kemiringan nyaris 90 derajat dari jalur yang dilalui.
Langkah-langkah para peserta terasa berat, beda halnya dengan Paulus Bilung dan dua pemuda Dayak yang sudah terbiasa dengan jalur seperti itu. Termasuk Timo, guru agama di SMP yang dulunya terbiasa mencari kayu gaharu di hutan.
Rasa lelah terbayar ketika sampai di puncak gunung pesawat. Ada kepuasan tersendiri. Namun karena tak punya waktu lama karena harus kembali turun ke lokasi air terjun, tim penjelajah berupaya mencari informasi-informasi yang masih memungkinkan untuk ditelusuri.
Guna menguak sejarah keberadaan bangkai pesawat di gunung Kampung Long Keluh.
Kondisi pesawat sudah tak utuh. Bagian besar yang masih tersisa, seperti ekor dan sayap, badan pesawat antara sayap utama dengan ekor, serta sayap pesawat sebelah kanan yang tak utuh.
Ada juga dua mesin atau engines yang terpisah sekitar 8 meter dari badan pesawat, salah satunya masih tersisa baling-baling, kemudian tangki bahan bakar.
Pesawat diduga, diproduksi Amerika Serikat. Hal itu berdasarkan temuan salah satu bagian mesin yang bertuliskan Wright Aircraft Engines, bergambar benua Amerika dengan tulisan USA. Di badan pesawat juga ditemukan kode M574 berwarna putih.
Ada juga logo segitiga terbalik berwarna hitam, merah dan putih. Sayang, gambarnya sudah tak jelas, juga tak ditemukan logo bendera negara yang menggunakannya. Selain itu, tak juga ditemukan tulang belulang awak pesawat. Badan pesawat benar-benar tertutup lumut.
Informasi benar-benar minim, namun dari cerita turun-temurun beberapa generasi di kampung, pesawat tersebut disebut punya tentara Jepang. Karena ada yang mengklaim, menemukan pedang samurai di sekitar bangkai pesawat.
“Sudah banyak cerita yang ditambahi, tapi sampai sekarang tak ada yang tahu itu sejarahnya dan kebenarannya,” jelas Paulus.
Diungkapkan Paulus, sekitar tahun 1983, saat dirinya pertama kali naik ke gunung bangkai pesawat itu, sudah banyak bagian yang hilang. Sebab Paulus pernah melihat kursi pada bagian kokpit, serta hilangnya salah satu bagian ekor pesawat.
Dia menduga, karena sudah banyak masyarakat yang melihat bangkai pesawat tersebut, kemudian mengambil beberapa bagiannya untuk dibawa pulang.
“Saya sudah enam kali naik ke gunung untuk melihat pesawat ini, tapi memang banyak yang berubah,” tegasnya.
Lagi-lagi tak ada informasi jelas yang diketahui Paulus. Ada cerita dari leluhur mereka tentang adanya orang dari luar negeri yang hendak menuju lokasi pesawat. Namun, orang-orang tersebut tak pernah sampai dan hanya diputar-putar oleh warga kampung yang mendampinginya.
Setelah cukup menggali informasi dan data yang ada, tim sejenak menggelar upacara bendera sederhana sembari menyanyikan lagu Indonesia Raya. Hingga waktu menunjukkan pukul 16.30 Wita, tim bergegas turun sebelum matahari lebih dulu terbenam.
Turun ke lokasi air terjun bisa dilalui lebih cepat, langkah peserta terlihat lebih cepat karena tak harus mendaki yang menguras tenaga. Bahkan, tak sampai 1 jam sudah tiba di lokasi.
Para peserta kemudian berbagi tugas. Ada yang memasak, ada yang pasang tenda dan ada yang membuat api unggun. Lokasinya di bebatuan lapang, cukup nyaman untuk bermalam dan dekat dengan air. Sayang, tim hanya bisa menempatinya hingga tengah malam.
Awan mendung dan angin kencang, cukup berisiko untuk bertahan di puncak air terjun. Air bah bisa saja langsung menyapu semuanya.
Semua yang terpasang akhirnya dilepas dan dipindah ke dalam hutan, tempat yang lebih aman. Benar saja, dinihari hujan mengguyur hingga pagi. Tim kembali turun ke kampung sekitar pukul 09.00 Wita dengan lengkap dan selamat 12 Agustus 2018.(*)