TANJUNG REDEB– Kekayaan laut Berau ternyata belum bisa dimaksimalkan. Sektor pariwisata dan perikanan jika dikelola dengan baik, tentu akan memberikan manfaat ekonomi yang besar. Pengelolaan dua sektor ini, khususnya perikanan, masih minim memberikan kontribusi kepada daerah. Terbukti dari pendapatan asli daerah (PAD) yang hanya Rp 150 juta.
Menurut sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Berau, Yunda Zuliarsih, saat ini daerah tidak lagi bisa melakukan pungutan retribusi kepada para nelayan. Akibatnya, Berau kehilangan sumber pendapatan daerah. Dulu ada pungutan sebesar 1,5 persen dari hasil produksi dan Rp 50 ribu per tahun dari satu kapal untuk biaya perpanjangan izin. “Tapi itu dihapus sejak 2014,” ujarnya, Jumat 3 September 2021.
Padahal kata dia, dari data Dinas Perikanan Berau, jumlah kapal nelayan di Berau mencapai 3000 unit. Jika dikalikan Rp 50 ribu untuk satu unit setiap tahun dan pungutan sebesar 1,5 persen dari hasil produksi. Maka ada dana segar sejumlah Rp 1,5 miliar yang akan masuk ke kas daerah sebagai PAD.
Adanya kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait larangan penarikan retribusi kepada nelayan kecil menyebabkan pemasukan tersebut kini hilang. Untuk memberikan kontribusi terhadap PAD, kini Dinas Perikanan hanya mengandalkan pendapatan dari Balai Benih Ikan (BBI) dan sewa alat di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Sambaliung.
“Ya cuman dari situ saja, mau dari mana lagi. Kalaupun kami mau narik retribusi untuk nelayan lagi itu bertentangan dengan aturan pusat. Bisa jadi kami malah kena pidana,” sebutnya.
Setiap tahunnya, target PAD yang dibebankan ke BBI tak lebih dari Rp 150 juta. Beruntung target tersebut selalu tercapai. Sementara sewa alat untuk para nelayan yang melakukan bongkar muat di TPI Sambaliung hanya menyumbang nilai sebesar Rp 5 juta rupiah.
“Alhamdulilah selalu tercapai, dari situlah yang bisa kami setor ke daerah sebagai penambah PAD kita,” ucapnya.
Ia berharap ada kebijakan baru terkait penarikan retribusi bagi nelayan. Sebab saat ini meskipun mereka digolongkan nelayan kecil namun modal yang dikeluarkan cukup besar melebihi dari harga kendaraan roda dua.
Apalagi, biaya retribusi kapal itu sangat kecil hanya Rp 50 ribu dalam satu tahun. Jika kebijakan penarikan retribusi kepada nelayan ini kembali dijalankan, dana yang terkumpul dapat dimanfaatkan kembali untuk kesejahteraan para nelayan itu sendiri.
“Mudahan saja ada kebijakan baru yang merubah larangan penarikan retribusi. Agar daerah juga benar-benar bisa merasakan manfaat dari potensi kelautan yang ada,” tutupnya. (*)
Editor: RJ Palupi