Foto: Karyawan DLJ yang melakukan aksi mogok kerja sebelum akhirnya menerima PHK sepihak.

TANJUNG REDEB- PT Dwiwira Lestari Jaya (DLJ) diduga telah mengeluarkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, kepada 193 karyawannya.

Angka itu cukup tinggi untuk menambah daftar pengangguran di Kabupaten Berau. Wakil Ketua Federasi Buruh Indonesia, Kabupaten Berau, Muhammad Jepri mengatakan, 193 pekerja itu di PHK pada 7 Juni lalu. Dan, itu sangat disayangkannya.

Apalagi, alasan yang disampaikan pihak perusahaan juga tidak jelas, dan cenderung mengada-ngada.

“Mereka di PHK karena dianggap mangkir dari pekerjaan ketika melakukan aksi mogok kerja. Mogok kerja itu mereka tetap hadir di perusahaan, namun tidak bekerja. Kalau mangkir, itu mereka tidak turun bekerja,” jelasnya.

Selain itu, manajemen perusahaan juga menyebut, mereka yang melakukan aksi mogok kerja itu karena membela rekannya yang diberhentikan karena positif kasus narkoba usai melakukan test urine.

Padahal kata dia, dari 9 orang yang di test urin, 3 diantaranya positif. Sementara 6 pekerja negatif. Adapun pekerja yang negatif ini, adalah anggota federasi buruh.

“Jadi apa yang disampaikan perusahaan kalau aksi mogok kerja itu, karena kami membela karyawan yang positif, itu salah besar,” ujarnya.

Adapun awal mula, dilakukannya mogok kerja itu karena pihaknya tidak puas dengan sistem kerja yang diterapkan manajemen perusahaan. Terutama terkait dengan jam lembur.

Sehingganya, muncullah dua tuntutan pekerja kepada manajemen perusahaan, yang sifatnya normatif. Namun hal itu tidak menjdi pertimbangan perusahaan.

Salah satu tuntutannya adalah, tuntuan perusahaan agar memberlakukn cuti panjang. Apabila pekerja sudah bekerja 5 tahun keatas, maka pekerja berhak mendapatkan cuti itu.

“Dengn catatan, perusahaan membayar gajinya sesuai UMK Berau 1 bulan,” katanya.

Kemudian, terkait dengan sistem upah lembur. Selama ini, PT DLJ tidak menggunakan sistem upah lembur berdasarkan Undang-Indang Nomor 13 Tahun 2003. Namun mengganti dengan bahasa premi.

Sebenarnya, pihaknya tidak mempermasalahkan dengan bahasa premi. Asalkan nilainya tidak lebih rendah dari jam kerja lembur. Tapi kenyataannya, perusahaan memberlakukan jam kerja melebihi 7 jam.

Padahal di undang-undang, perusahaan wajib mempekerjakan selama 7 jam dalam 1 hari. atau dikonversikan 40 jam dalm seminggu. Sementara Sistem kerja di DLJ, buruh dipekerjakan dari pukul 07.00 hingga pukul 17.00. Ada kelebihan waktu selama 1 jam setiap harinya.

“Kemudian di hari Sabtu dipekerjakan lagi mulai pukul 07.00 sampai 17.00 Wita. Jadi dalam seminggu ada kelebihan 10 jam. Inilah sistem yang kami sampaikan harus dievaluasi kedepannya,” ujarnya.

“Sistemnya harus dibenahi kedepan sesuai undang-undang ketenagakerjaan. Bukan berbicara kebelakang, dan menuntut uangnya perusahaan. Tidak seperti itu,” jelasnya.

Kemudian ketua PK Federasi Buruh di DLJ, coba melakukan pertemuan dengan pihak perusahaan untuk mediasi. Saat itu ada 10 tuntutan, namun itu disaring, menjadi 2 tuntutan normatif tersebut. Karena hanya 2 tuntutan itu yang dinilai tidak merugikan pengusaha.

“Tapi manajemen DLJ tetap menolak itu. Bahkan saat itu kami bawa ke Disnakertrans Berau. Mediasi deadlock, dan tidak menghasilkan apa-apa,” katanya.

Karena tuntutan itu tidak diindahkan, maka pekerja akhirnya memilih mogok kerja. Tapi aksi itu kata dia, dilakukan secara resmi. Yakni, dengan menyampaikan pemberitahuan aksi mogok kerja ke manajemen perusahaan selama sebulan. Dan itu sudah disampaikan 10 hari sebelum aksi secara tertulis.

Kemudian, menyurati instansi terkait, sesuai unsur dalam undang-undang. Dan, yang melakukan aksi itu adalah pengurus dari serikat buruh. Itu juga sudah disampaikan ke OPD terkait dan pengusaha. Terakhir, mogok kerja dilakukan di mana, waktunya dimulai dan sampai kapan.

Itu semua, kata Jepri, sudah Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 137 tentang hak dasar pekerja buruh melakukan mogok kerja.

“Dan itu dilindungi konstitusi. Apabila tuntutan tidak dipenuhi, maka pekerja bisa melakukan mogok kerja. Semua itu sudah sesuai dengan aturan,” jelasnya.

Sialnya, selang dua hari melakukan pemogokan kerja dilakukan. Perusahaan mengeluarkan surat pemanggilan pertama. Empat hari mogok kerja muncul lagi panggilan kedua, setelah 7 hari mogok kerja, perusahaan mengeluarkan PHK kepada 193 pekerja. Yang di mana seluruhnya ada anggota serikat Federasi Buruh Indonesia.

“Mulai dari ketua, sekretaris, hingga penasehat hukum. Alasan perusahaan melakukan PHK itu bukan karena mogok kerja yang dilakukan. Tapi, karena mangkir,” jelasnya.

“Padahal pengertian mangkir itu adalah tidak masuk bekerja. Padahal itu kami lakukan resmi, dan ada suratnya,” tambahnya.

Hal inilah yang dinilainya, pihak DLJ sudah melakukan tindakan semena-mena dengan pekerja, yang sudah mengabdikan diri selama 2 tahun, bahkan ada yang sampai lebih 5 tahun bekerja di sana.

Dirinya berharap, Bupati Berau, Sri Juniarsih agar dapat membantu menyelesaikan persoalan yang terjadi. Terutama menyangkut 193 pekerja yang dilakukan PHK sepihak oleh DLJ. Sebab, jika tidak ada aksi dari kepala daerah, pihaknya mengancam akan melakukan aksi demonstrasi di kantor bupati.

Apalagi, 193 pekerja ini mayoritas sudah berumah tangga, dan memiliki tanggungan. Ditambah sikap perusahaan, yang tidak memperhatikan para pekerjanya.

“Tolong ibu bupati, perhatikan kami. Ada 193 pekerja di PHK dan terancam menjadi penggangguran. Semoga bisa menjadi perhatian kepala daerah,” pungkasnya. (/tim).