JAKARTA – Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengkritik langkah DPR RI yang merencanakan tambahan tunjangan perumahan Rp 50 juta untuk tiap anggotanya.
Anggota DPR RI bakal mendapatkan tunjangan tambahan berupa tunjangan perumahan. Nominal tunjangan perumahan bagi tiap anggota DPR RI mencapai Rp 50 juta.
Dengan tambahan tunjangan tersebut, tiap anggota DPR RI berpeluang mendapatkan gaji per bulan mulai dari Rp 104.000.000 hingga Rp 117.000.000 untuk posisi Ketua DPR RI.
Tak pelak hal tersebut menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat utamanya organisasi masyarakat sipil.
Salah satu kritik yang ditujukan adalah ketikdapekaan wakil rakyat terhadap kondisi rakyat yang masih kesulitan dalam menghadapi kondisi ekonomi saat ini.
Salah satu kritik disampaikan oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Peneliti Formappi, Lucius Karus menilai DPR tidak peka dan memiliki sense of crisis. Menurutnya, keputusan menaikkan tunjangan justru menyakiti hati rakyat yang sedang berjuang menghadapi tekanan ekonomi.
“Sense of crisis tak ada di kamus DPR rupanya, dan itu jelas menyakitkan untuk rakyat,” ujar Lucius, Rabu (20/8/2025) dikutip dari Beritasatu.
Lucius menegaskan, tidak ada alasan mendesak bagi anggota dewan untuk menerima tunjangan sebesar Rp 50 juta per bulan. Faktanya, banyak anggota DPR sudah memiliki rumah pribadi, sehingga dana tunjangan tersebut tidak selalu digunakan untuk menyewa rumah. Akibatnya, tunjangan itu lebih menyerupai penghasilan tambahan.
“Intinya, tunjangan ini tak pasti untuk mengontrak rumah, dan akhirnya menjadi seperti penghasilan tambahan bagi anggota,” jelas Lucius.
Formappi juga menyoroti ironi penetapan tunjangan ini yang dilakukan ketika Presiden Prabowo sedang gencar menjalankan program efisiensi anggaran negara. Sebagai wakil rakyat sekaligus mitra pemerintah dalam membahas APBN, DPR seharusnya lebih peka terhadap situasi ekonomi.
“Padahal seharusnya posisi DPR sebagai wakil rakyat sekaligus mitra pemerintah yang turut membahas anggaran, mestinya paham dengan kondisi perekonomian dan keuangan itu sehingga pilihan untuk mendapatkan tunjangan yang membebani anggaran negara harusnya tidak diambil,” tambahnya.
Kritik juga datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kepala Divisi Advokasi ICW Egi Primayogha dalam rilis resminya menyebut tambahan tunjangan perumahan bagi anggota DPR RI berpotensi memboroskan anggaran negara hingga Rp 1,74 triliun.
“DPR RI harus menjelaskan alasan yang lebih kokoh terkait keputusan tersebut. Seperti, mengapa angka Rp 50 juta yang diambil, apakah sudah mengikuti standar dan ketentuan yang berlaku,” lanjutnya.
ICW menduga tambahan tunjangan perumahan adalah cara bagi anggota DPR RI untuk menebus ongkos pemilu yang berbiaya tinggi. Kebijakan tambahan tunjangan perumahan juga tidak tepat, mengingat rakyat di banyak daerah justru dihadapkan dengan kebijakan kenaikkan tarif pajak.
“Tunjangan perumahan, kami duga kuat hanya untuk menambah biaya politik untuk menebus ongkos pemilu, dari sisi etika publik, itu bukanlah keputusan yang patut dan adil. Mengingat warga akan menghadapi kesulitan akibat kenaikan pajak dan kesulitan lain yang tengah dihadapi dalam kehidupan sehari-hari,” tegasnya.