Foto: Bupati Sri Juniarsih saat meninjau kawasan wisata mangrove di Kampung Teluk Semanting, Kecamatan Derawan beberapa waktu lalu.

TANJUNG REDEB, – Kampung Pegat Batimbuk dan Teluk Semanting kini telah resmi ditetapkan sebagai lokasi budidaya udang tambak yang ramah lingkungan. Penetapan itu sejalan dengan upaya mengurangi pembukaan mangrove sebagai lahan tambak.

Bupati Berau Sri Juniarsih menyebut, budidaya udang di tambak yang ramah lingkungan tersebut dengan cara mengintensifikasi pengelolaan. Di mana hasilnya akan lebih optimal dan menyamai tambak udang pada umumnya. Sehingga, dapat mengurangi pembukaan mangrove sebagai lahan tambak.

“Budidaya itu mendapat sokongan dari Kementerian Keuangan bertajuk Special Mission Vehicle (SMV) dan bekerjasama dengan NGO,” sebutnya.

Adapun di Berau, kata Sri, memiliki ukuran tambak udang yang besar. Namun, dengan adanya budidaya udang yang ramah lingkungan dapat menghemat lahan. Sehingga, lahan yang ada bisa ditanami mangrove.

Karenanya besar harapan Sri kepada para Kepala Kampung agar menjadi perhatian lebih. Serta turut mengedukasi masyarakat agar membantu melestarikan mangrove yang ada. Yang mana tujuan akhirnya dapat memberikan manfaat di bidang ekonomi dan sosial bagi masyarakat.

“Semua program dapat mengembalikan keseimbangan alam sebagaimana mestinya, dengan menaikkan jumlah ikan, udang, kepiting yang ada di alam. Sekaligus melestarikan bekantan yang merupakan satwa endemik Kalimantan,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Perikanan (Diskan) Berau, Dahniar Ratnawati menambahkan, inovasi standarisasi budidaya tambak udang yang ramah lingkungan telah masuk kategori nasional. Pemkab sendiri telah berkomitmen dalam merintis tambak Shrimp-Carbon Aquaculture (SECURE) sejak 2017 lalu.

Telah terbentuk Peraturan Bupati (Perbup) Berau Nomor 44/2017 perihal Pedoman Umum Budidaya Perikanan di Kabupaten Berau. Pihak NGO sendiri sudah mengembangkan 8 tambak SECURE di tiga lokasi yakni, Pegat Batumbuk, Suaran, dan Tabalar Muara. 

“Dengan inovasi ini, lahan seluas 2 ha bisa dioptimalkan seperti lahan seluas 10 ha tambak pada umumnya. Memang berbeda dengan tambak tradisional yang belum tertata saluran airnya,” sebutnya.

Selain itu, juga terintegrasi dengan pakan alami yang ada di perairan dengan membiarkan mangrove tetap ada. Menata aliran mangrove tersebut untuk mensuplai pakan untuk hasil samping lain seperti ikan, hingga kepiting yang ramah lingkungan. 
 
“Jadi harapannya, lebih banyak lagi masyarakat yang menerapkan inovasi budidaya ini. Dari 10 ha menjadi 2 ha ini sangat efisien sekali. Tetapi, memang membutuhkan proses cukup panjang,” terangnya. 
 
Lanjutnya, tambak udang tersebut juga sebagai basis ekonomi biru berkelanjutan yang digandeng dengan pariwisata, serta produk UMKM-nya. Ke depan diharapkan tidak ada lagi eksploitasi mangrove. Adapun biaya tambak udang ini dapat menghemat biaya kurang lebih 80 persen.
 
“Untuk revitalisasi tambak dengan pemetaan lahan 2 ha itu perlu waktu. Apalagi, pengembangan mangrove supaya tumbuh kembali butuh waktu sekitar 3-4 tahun untuk bisa seperti harapan kami,” tutupnya. (Adv)

Reporter: Hendra Irawan