BERAU TERKINI – Menjadi pendamping petani kopi bukan pekerjaan yang mudah. Bagi Rio Arga Pratama yang sejak 2017 aktif mendampingi petani kopi, perjalanan itu penuh dengan tantangan sekaligus kebahagiaan.
Awalnya, Rio harus berhadapan dengan keterbatasan pemahaman petani soal teknis pengolahan kopi. Istilah seperti full wash atau semi wash terasa asing di telinga mereka.
“Kami harus menjelaskan dengan cara sederhana agar mereka bisa paham dan mau mencoba,” ungkap Rio kepada Berauterkini.
Tak hanya itu, menjaga konsistensi semangat petani juga menjadi ujian. Ada masa ketika harga kopi belum menentu hingga petani hampir kehilangan harapan.
“Pernah kami harus membeli sendiri hasil panen petani supaya mereka tetap semangat. Kalau tidak begitu, bisa saja mereka beralih ke komoditas lain,” kenangnya.

Namun di balik kesulitan itu, ada rasa bangga yang tak bisa digantikan, yakni ketika kopi dari Berau mulai dikenal luas, bahkan bisa masuk ke coffee shop di luar daerah.
“Itu jadi kepuasan tersendiri, melihat kopi hasil dampingan kita bisa dihargai orang,” ucapnya.
Sebagai pendamping petani di Berau, Rio melihat potensi kopi lokal, khususnya Liberika, sangat besar. Kopi Berau memiliki karakter unik, bahkan mendekati rasa kopi Arabika yang selama ini dianggap sebagai kasta tertinggi kopi.
Liberika Berau punya rasa pahit, sedikit asam, serta nuansa fruity yang kuat. Di Sumber Mulia, Kecamatan Talisayan, misalnya, kopi yang dihasilkan punya karakter menyerupai buah belimbing.
Saat dibandingkan dengan kopi dari Temanggung maupun Jember melalui uji cita rasa (cupping test), kopi Berau dinilai tidak kalah saing, meskipun masih tergolong baru dalam pengembangannya.
Di Kampung Sumber Mulia, kopi Liberika dikelola oleh Ibu Helmina dengan lahan sekitar 0,5 hektare. Bibit dari kebunnya kemudian disebar ke wilayah Kampung Sambakungan, yang kini sudah berkembang hingga 12 hektare dan dikelola oleh sekitar 16 petani.
“Sekarang tidak hanya di Talisayan, di Kampung Sambakungan juga mereka mengembangkan Kopi Liberika,” tuturnya.
Rio menekankan, meskipun sebagian besar lahan masih milik pribadi para petani, pengembangan kopi di Sambakungan berpotensi jauh lebih besar.
“Kalau konsisten menjaga kualitas, bukan hanya pasar nasional, tapi internasional pun bisa kita tembus,” jelasnya.
Bagi Rio, suka duka mendampingi petani kopi justru membuat dirinya bertahan. Dari kopi, ia tak hanya mendapat rezeki, tapi juga pertemanan dan jaringan baru.
“Kopi itu media silaturahmi. Dari secangkir kopi, kita bisa ngobrol banyak hal, sampai kerja sama yang bermanfaat,” tuturnya.
Meski begitu, ia berharap dukungan pemerintah tidak hanya sebatas event lomba kopi, melainkan juga pembinaan berkelanjutan. Sebab, kopi Berau punya potensi besar untuk bersaing asalkan petani terus diberdayakan.
“Selama dunia ini ada, kopi pasti tetap diminati. Tugas kita sekarang memastikan kopi Berau bisa bersaing dan punya tempat di hati penikmatnya,” pungkasnya. (*)