TANJUNG REDEB – Maraknya kasus warga yang diterkam buaya di Kabupaten Berau mendorong pemerintah daerah untuk dapat bertindak cepat dalam mengurangi potensi jatuhnya lebih banyak korban.

Hewan buas tersebut kini sudah masuk ke kawasan pemukiman warga dan menjadikan terornya semakin meresahkan. 

Ketua DPRD Berau, Deddy Okto Nooryanto, menyatakan siap mendukung wacana pemerintah untuk membuat balai penangkaran buaya di lokasi yang aman.

“Bagus wacana itu, dipertimbangkan lokasinya yang jauh dari aktivitas warga,” kata Deded, sapaannya, Senin (4/8/2025). 

Dia menyatakan, buaya tersebut masuk dalam jenis satwa yang dilindungi negara sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Menurutnya, kondisi tersebut sangat dilematis karena tak boleh untuk dibunuh secara langsung.

“Kasian para korban, digigit tapi tidak boleh dibunuh, padahal nyata membahayakan,” tuturnya.

Dia mengatakan, adanya penangkaran buaya akan menjadi solusi jangka panjang. Buaya liar yang dilihat oleh warga dapat direlokasi ke tempat penangkaran tanpa harus dibunuh.

“Tapi memang lokasinya harus aman dan itu kan tempatnya harus besar,” kata dia.

Diperlukan pula pertimbangan untuk menyediakan SDM yang mumpuni agar keberadaan buaya penangkaran tak menjadi ancaman baru bagi masyarakat.

“Takutnya yang menjaga nanti justru yang dimangsa sama buaya, kan kita tidak ingin itu terjadi,” ujarnya.

Wacana itu pun dia dukung untuk segera dibahas serius antara eksekutif dan legislatif.

Namun, pemerintah daerah mesti membangun komunikasi intensif dengan BKSDA Kaltim yang memiliki wewenang untuk menyikapi satwa tersebut.

Sebelumnya, Bupati Berau Sri Juniarsih mewacanakan pembuatan lokasi penangkaran buaya sebagai solusi jangka panjang.

Menurutnya, langkah ini lebih bijak di tengah regulasi ketat terhadap hewan buas yang masuk daftar satwa dilindungi itu.

“Kami coba kaji dulu soal penangkaran ini,” ujar Bupati Sri.

Wacana ini mencuat sebagai bentuk tanggapan atas keresahan masyarakat yang hidup berdampingan dengan sungai habitat alami buaya muara.

Meski keberadaan buaya dilindungi, warga kerap berada dalam posisi serba salah. Ingin selamat, tapi tak bisa mengambil tindakan ekstrem.

Dalam catatan BPBD Berau, setidaknya sudah ada 8 insiden serangan buaya dalam beberapa tahun terakhir.

Namun, karena buaya muara atau Crocodylus porosus dilindungi oleh Peraturan Menteri LHK Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, warga tak bisa sembarangan bertindak.

“Di satu sisi, buaya ini dilindungi. Tapi di sisi lain, mereka sudah menebar teror di tengah aktivitas harian warga,” ucap Bupati Sri.

Sekitar 80 persen masyarakat pesisir Berau masih bergantung pada ekosistem sungai dan muara untuk mandi, buang air, hingga mencari ikan. Sungai bukan hanya tempat lalu lintas air, tetapi menjadi urat nadi kehidupan.

Namun, kini sungai berubah jadi ancaman, terutama bagi anak-anak yang kerap bermain di tepi perairan.

“Kami sudah berulang kali mengingatkan warga agar tidak berenang, mandi, atau memancing di sungai dan rawa. Itu habitat buaya,” tegasnya.

Dengan penangkaran sebagai opsi yang tengah dikaji, diharapkan bisa tercipta keseimbangan antara perlindungan satwa dan keselamatan manusia. Sehingga warga pesisir tak lagi hidup dalam bayang-bayang bahaya di habitat mereka sendiri.